Pendahuluan Buku Bolehkah Puasa Hari Sabtu?
PENDAHULUAN BUKU BOLEHKAH PUASA SUNNAH HARI SABTU?
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdil Hamid al-Halabi al-Atsari
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَـنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَـلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Amma ba’du:
Sesungguhnya pembahasan ilmiah dan penelitian yang mendalam pada masalah-masalah fiqih yang mendetail yang diperselisihkan oleh para ulama dan para imam, adalah manhaj satu-satunya yang harus semarak dan tersebar di antara para penuntut ilmu dan ulama, dengan syarat bahwa dasar pembahasan tersebut adalah untuk mencari kebenaran, bukan untuk menguatkan salah satu pendapat yang cocok dengan diri kita dan kita hidup dengannya.
Termasuk permasalahan yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah puasa sunnah pada hari Sabtu. Apa hukumnya dan apakah ia dilarang karena semata-mata puasa ini dilarang atau karena mengkhususkan hari itu atau karena kesendiriannya (tidak bergandengan dengan hari sebelumnya atau sesudahnya.-pent).
Maka terjadilah perselisihan dan perbedaan pendapat.
Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan apa yang aku dengar dari sebagian orang yang mengeluarkan fatwa, yang menyangka bahwa adanya kesepakatan ulama atas bolehnya berpuasa (sunnah) pada hari Sabtu. Dengan sangkaan bahwa hadits yang melarang adalah makdzub (di-dustakan) dan bahwa pendapat yang melarang adalah mengada-ada lagi bid’ah, juga mengira bahwa orang yang berpendapat demikian adalah orang bodoh yang kelewat batas.
Dengan ini aku sangat heran sehingga membuatku teringat pada sebuah sya’ir terdahulu:
فَكَمْ مِنْ عَاِئبٍ قَوْلاً صَحِيْحًا
وَآفَـتُهُ مِـنَ الْفَهْـمِ السَّقِيْـمِ
Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar
Namun, kesalahannya terdapat pada jeleknya pemahaman
Tidaklah samar bagi orang yang menelaah karangan-karangan ahli ilmu dan kitab-kitab mereka, bahwa permasalahan yang sedang dibicarakan dalam pembahasan kami ini merupakan masalah khilafiyah (permasalahan yang diperselisihkan para ulama) [1], perbedaan dalam masalah ini sangat panjang, maka sungguh tidak dibenarkan berprasangka bahwa berpendapat dengan salah satu darinya adalah menyelisihi atau menentang ijma’ atau sejenis dengan perkataan ini, yang menunjukkan ketergesa-gesaan dan sedikitnya penelitian.
Untuk menunjukkan perbedaan dalam masalah ini cukuplah aku sebutkan tiga kutipan:
1. Imam ath-Thahawi dalam kitabnya, Syarh Ma’aanil Aatsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits (tentang larangan puasa sunnah pada hari Sabtu), ia berkata, “Sebagian kaum (ulama) berpendapat dengan hadits ini, maka mereka membenci puasa sunnah pada hari Sabtu.”
2. Ibnu Rusyd berkata dalam kitabnya Bidaayatul Mujtahid (V/216-217), “Dan adapun hari-hari yang dilarang berpuasa di dalamnya, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Adapun yang disepakati adalah berpuasa di hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, karena adanya ketetapan larangan berpuasa pada dua hari tersebut. Adapun yang diperselisihkan adalah hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah.-pent), hari yang diragukan (mengawali Ramadhan sudah masuk atau belum. -pent), hari Jum’at, hari Sabtu, setengah bulan terakhir dari bulan Sya’ban dan puasa yang dilakukan terus-menerus….”
Lalu ia berkata (V/232), “Adapun hari Sabtu, maka sebab perbedaan ulama adalah perbedaan mereka dalam penshahihan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali yang diwajibkan atas kalian.”
3. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitabnya ‘Iqtidhaa’ ash-Shiraatil Mustaqiim (II/570), ketika menyebutkan permasalahan dan hadits tentang puasa pada hari Sabtu, “Dan sungguh para Sahabat dan seluruh ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini.”
Aku katakan, “Inilah tiga kutipan ilmiah [2] sebagai hujjah yang mematikan bagi orang yang berani berbuat lancang terhadap ilmu dan berkata dengan kebodohannya serta mengingkari (adanya pendapat yang lain.-pent) tanpa penelitian. Maka hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang berbicara membabi buta dan berteriak pagi dan sore seperti teriakan yang hiruk pikuk. Padahal permasalahan ini -seperti yang aku katakan- memerlukan pembahasan fiqih secara terperinci. Tidak selayaknya disebarkan dengan gencar, baik dengan cara positif maupun negatif sehingga permasalahannya sampai pada celaan, cemoohan, kedustaan …. Kami berlindung kepada Allah Ta-’ala dari hal tersebut.
Karena ini semua, maka aku melihat sebagai suatu keharusan untuk membahas masalah ini dengan pembahasan ilmiah yang mendalam. Aku lakukan dengan menyertakan dalil-dalil, tidak dengan “katanya, katanya” dan prasangka atau kira-kira.
Aku memberikan tempat yang besar untuk bagian takhrij hadits tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu, karena ini adalah inti permasalahan dan sebab perbedaan dalam pembahasan. Hingga sampai pada penetapan atau peniadaan [3], hukum pada permasalahan tersebut ; ada atau tidak ada.
Di sela-sela pembahasanku, aku melihat bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mempunyai satu kitab tentang hukum puasa pada hari Sabtu yang beliau beri judul: “al-Qauluts Tsabt fish Shaumi Yaumis Sabti’ (Pendapat yang kuat tentang puasa pada hari Sabtu-pent), sebagaimana terdapat dalam kitabnya, Fat-hul Baari (X/363).
Aku telah mencari berulang kali kitab tersebut untuk mengambil faidah darinya, namun aku tidak mendapatinya setelah mencari di daftar manuskrip dan dalam kumpulan karangan. Akhirnya aku temukan apa yang diucapkan oleh Doktor Syakir Mahmud ‘Abdul Mun’im dalam kitabnya, Ibnu Hajar al-‘Asqalani wa Diraasatu Mushannafaatihi (I/443). Ia mengatakan tentang kitab ini (al-Qauluts Tsabt fish Shiyaam Yaumis Sabti), “Kami tidak mengetahui kitab ini kecuali namanya yang tertuang dalam kitab al-Jawaahir wad Durar dengan kode ( ق 152 / ب ) dan di kitab, Nazhmul ‘Iqyaan, hal. 47 dan dalam kitab Fihris al-Fahaaris (I/247).
Karena masalahnya seperti itu, maka aku bersungguh-sungguh dalam mengarang bagian ini dan mentakhrij hadits-haditsnya serta menertibkannya secara ilmiah menjadi tiga pasal setelah muqaddimah, lalu diakhiri pembahasan ini dengan penutup.
Pasal pertama: Perincian jalan-jalan periwayatan hadits dan penetapan keshahihannya.
Pasal kedua: Menyebutkan hadits-hadits yang disangka mengandung pertentangan
Pasal ketiga: Bantahan terhadap dalil pihak yang berbeda pendapat dan menguatkan pendapat yang dipilih, kemudian penutup pembahasan. [4]
Aku mohon kepada Allah agar Dia menjadikanku sebagai penolong Sunnah Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar mengumpulkanku dalam kelompok orang-orang yang suci dan baik dan agar Dia melapangkan dadaku untuk kebenaran dan menerimanya.
Ya Allah, Rabb Jibril, Mika-il dan Israfil, berilah hidayah kepadaku untuk mendapat kebenaran dengan izin-Mu dalam masalah yang diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau Maha Men-dengar lagi mengabulkan do’a.
Abul Harits al-Halabi al-Atsari
Senin, 4 Dzul Hijjah 1408 H / 18 Juli 1988 M
Kemudian buku ini aku lihat kembali, lalu aku tambahkan dalam banyak kesempatan
[Disalin dari kitab Judul Asli Zahtur Raudh fii Hukmi Shiyaami Yaumas Sabti fii Ghairil Fardhi, Penulis ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdil Hamid al-Halabi al-Atsari Penerbit Darul Ashalah. Edisi Indonesia Bolehkah Puasa Sunnah Hari Sabtu? Penerjemah Ma’ruf Nur Salam, Lc, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ucapan penulis risalah: “Al-Qauluts Tsabti… “ hal. 12, “Setahu kami tidak ada perbedaan dikalangan umat sebelumnya (tentang bolehnya berpuasa hari Sabtu).”
Ucapan ini bertentangan dengan dalil dan menolak uca-pan para ulama yang akan disebutkan nanti.
Ulama terakhir dari kalangan ulama-ulama terdahulu yang berpendapat seperti ini sebagaimana yang aku ketahui adalah al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya ar-Raudhah an-Nadiyah (I/236). Juga lihat dalam al-Majmuu’ (VI/439) karya Imam an-Nawawi. Ia menyebutkan beberapa nama yang sependapat dengan pendapat ini.
[2]. Terdapat pula beberapa kutipan lainnya, sebagaimana telah disebutkan di atas dan sebagiannya lagi akan diisyaratkan di tengah-tengah pembahasan.
[3]. Sebagaimana telah lalu isyarat dari ucapan Imam Ibnu Rusyd.
[4]. Setelah aku selesai menulis buku ini, aku menjumpai artikel dan karangan singkat yang ditulis oleh beberapa orang di antaranya adalah :
1. Risalah singkat yang ditulis oleh Khassaf Mutahawwir ia dari anak bangsa kami. Ia menjelek-jelekkan dalam tulisannya dengan cacian, makian, cemoohan dan hujatan. Orang yang menuduh dengan tuduhan yang tidak berkualitas ini menurut kami adalah orang yang terlindas. Sebab ia dikenal sebagai orang yang lemah agamanya, termakan hawa nafsu, dan sedikit ilmu. Adapun tentang tulisannya, ia biasa memotong-motong dalil dan menyelewengkannya. Hal seperti itu adalah kebiasaan yang ia senangi bahkan menjadi keharusannya yang tidak bisa ia lepaskan. Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari kejahatannya. Karena tulisannya seperti itu, maka aku tidak menganggapnya dan tidak mengomentarinya.
Tulisannya ini diringkas oleh orang yang taklid kepadanya dan dimuat di salah satu majalah daerah kami. Akhirnya aku ungkap sedikit dari keadaan orang ini dalam karangan aku, al-Anwaar al-Kaasyifah dan buku ini telah terbit.
2. Risalah kedua yang lebih baik dari pendahulunya, meskipun ada kesamaan dalam beberapa perkara. Judulnya adalah: al-Qaulus Sabt fii Hukmi Shaumi Yaumis Sabt, ditulis oleh Yahya Isma’il ‘Id, tetapi di dalamnya terjadi kerancuan yang besar antara ahli hadits dan ahli zhahir, banyak kesalahan dalam mengutip pendapat, dan menuduh dengan tuduhan yang tidak ilmiah dan tidak benar, maka aku tidak mengomentari dengan detail akan tetapi cukup dengan mengingatkan yang penting-penting saja (telah disebutkan dalam majalah Syarii’ah, Urdun).
3. Risalah ketiga Hukmu Shiyaami Yaumis Sabti fin Naafilah. Penulisnya adalah Syaikh kami yang mulia, Ustadz Muhammad Ibrahim Syaqrah. Ini adalah risalah ringkas yang mendekatkan pada pemahaman kesimpulan perbedaan dan tarjih (penguatan pada yang difahami lebih kuat) dalam masalah ini. Mudah-mudahan Allah membalas penulisnya dengan sebesar-besar balasan.
Kemudian aku mengetahui di Majalah asy-Syarii’ah, Urdun edisi bulan Rabi’ul Awwal tahun 1409 H pertanyaan yang dihadapkan pada syaikh al-Azhar seputar hukum puasa sunnah pada hari Sabtu, tetapi jawabannya bukan merupakan jawaban pada masalah.
4. Risalah keempat dengan judul at-Tahqiiq ats-Tsabat limaa Warada fii Shiyaami Yaumis Sabt, ditulis oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Ramzi, setebal tiga puluh halaman, aku jumpai kitab tersebut ketika kitabku ini dalam proses naik cetak, maka aku telaah kitab tersebut, namun tidak ada sesuatu yang baru, semua yang tertuang di dalamnya telah aku muat dalam bukuku ini dan ada jawabannya. Segala puji hanya bagi Allah.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2044-pendahuluan-buku-bolehkah-puasa-hari-sabtu.html